Mengenal Ampas Sagu Sebagai Pakan Ternak Alternatif

Posted by Admin

loading...
Pati Sagu dan Limbah Sagu
Menggali Potensi Limbah dan Ampas Sagu Sebagai Pakan Ternak, Kompos dan Bioetanol

Pohon sagu merupakan nama umum untuk tumbuhan genus Metroxylon, berasal dari kata Yunani yang terdiri dari kata Metra berarti isi batang atau empulur dan Xylon berarti xylem (Flach 1977). Sagu termasuk tumbuhan monokotil dari famili Palmae, genus Metroxylon dan Ordo Arecales, berkembangbiak melalui tunas, akar atau biji sehingga tumbuh membentuk rumpun dan berkelompok (Louhenapessy et al. 2010).

Potensi Ampas Sagu untuk Pakan Ternak Sebagai Bahan Baku Pakan Alternatif

Nutrien yang terkandung dalam ampas sagu umumnya sangat rendah karena rendahnya protein kasar dan tingginya serat kasar. Walaupun kandungan nutrien terutama protein kasar rendah berkis ar antara 2,30-3,36%, pati dalam ampas sagu masih cukup tinggi yaitu 52,98% (Ralahalu, 2012). Hal ini memungkinkan ampas masih bermanfaat sebagai pakan ternak.

Pemanfaatan ampas sagu sebagai pakan ternak dari beberapa hasil penelitian dalam ransum monogastrik (ayam dan babi) dapat mengurangi penggunaan bahan makanan lain seperti jagung dan dedak padi disebabkan cukup tingginya kadar pati dalam ampas sagu (Tabel 1). Selain itu untuk meningkatkan kualitas ampas sagu dilakukan biofermentasi ampas sagu menggunakan kapang Aspergillus niger.

Tabel 1. Penggunaan Ampas sagu Mengurangi Penggunaan Jagung dan Dedak padi
Pada Babi Fase Grower
Ampas Sagu Tanpa Fermentasi
R0
7,5%
15%
22,5%
Jagung (kg)
65,75
53,50
52,00
40,50
Dedak padi (kg)
7,00
7,75
1,00
0,50
Pada Ayam kampung
Fase Starter
Ampas sagu Fermentasi (ASF)
R0
5%
10%
15%
Dedak padi (kg)
18,25
15,75
13,75
10,50
Ayam Kampung fase Grower
17,5
16,00
14,00
12,00
Dedak padi (kg)
Sumber: Ralahalu (1998)
Kondisi seperti ini sangat menguntungkan peternak yang berada didaerah surplus ampas sagu. Selain itu tingginya harga jagung dan dedak padi yang menyebabkan bahan-bahan makanan ini tidak dapat diberikan kepada ternak secara kontinyu.

Limbah sagu merupakan hasil samping industri pengolahan pati. Industri ekstraksi pati sagu menghasilkan tiga jenis limbah, yaitu residu selular empulur sagu berserat (ampas), kulit batang sagu, dan air buangan. Jumlah kulit batang sagu dan ampas sagu adalah sekitar 26% dan 14% berdasar bobot total balok sagu (Singhal et al. 2008). Lebih lanjut dilaporkan bahwa limbah sagu mengandung komponen penting seperti pati dan selulosa. Jumlah limbah kulit batang sagu mendekati 26%, sedangkan ampas sagu sekitar 14% dari total bobot balok sagu.

Ampas Sagu Basah dan Ampas Sagu Kering

Ampas mengandung 65,7% pati dan dan sisanya merupakan serat kasar, protein kasar, lemak, dan abu. Dari persentase tersebut ampas mengandung residu lignin sebesar 21%, sedangkan kandungan selulosa di dalamnya sebesar 20% dan sisanya merupakan zat ekstraktif dan abu. Di sisi lain, kulit batang sagu mengandung selulosa (57%) dan lignin yang lebih banyak (38%) daripada ampas sagu. Jumlah ampas sagu dan pati yang besar di dalam air limbah praolah berkontribusi terhadap BOD dan COD air limbah secara signifikan.

Limbah ini akan menjadi masalah lingkungan yang serius bila tidak di perlakukan untuk tujuan tertentu atau dibuang dengan cara yang benar. Dengan demikian, limbah sagu dapat menjadi alternatif sumber BBN yang berasal dari biomassa lignoselulosa.

Pohon sagu merupakan nama umum untuk tumbuhan genus Metroxylon, berasal dari kata Yunani yang terdiri dari kata Metra berarti isi batang atau empulur dan Xylon berarti xylem (Flach 1977). Sagu termasuk tumbuhan monokotil dari famili Palmae, genus Metroxylon dan Ordo Arecales, berkembangbiak melalui tunas, akar atau biji sehingga tumbuh membentuk rumpun dan berkelompok (Louhenapessy et al. 2010).

Pada umumnya dikenal lima jenis sagu di Maluku, yakni : sagu Tuni (Metroxylon rumphii Mart), sagu Ihur (Metroxylon sylvester Mart), sagu Makanaru (Metroxylon longispinum Mart), sagu Duri Rotan (Metroxylon microcanthum Mart) merupakan sagu berduri dan satu jenis sagu yang tidak berduri yakni sagu Molat (Metroxylon sagu Rottb) (Louhenapessy 2006).

Taksiran luas lahan sagu di Indonesia sangat bervariasi dari waktu ke waktu. Luas lahan sagu di Indonesia adalah 1.398.000 ha, sedangkan di Maluku (provinsi Maluku dan Maluku Utara) luas lahan sagu adalah 50.000 ha (Balitbanghut 2005).

Menurut Alfons (2006), luas areal sagu potensial di Maluku diperkirakan sebesar 31.360 ha. Jumlah pohon masak tebang untuk kondisi hutan sagu di Indonesia adalah antara 8–36 pohon/ha dimana untuk kondisi hutan sagu di Maluku rata-rata pohon sagu masak tebang berbagai jenis sagu adalah 20 pohon/ha dan rataan produksi tiap pohon adalah 220 kg, sehingga dalam luasan satu ha dapat diproduksi 4400 kg tepung sagu (Louhenapessy 1988). Dari jumlah produksi tepung sagu diperoleh limbah padat berupa ampas sagu dalam jumlah yang besar dengan perbandingan tepung sagu dan ampas sagu 1 : 6. Hal ini berarti potensi ampas sagu tersedia cukup besar yaitu 1.320 kg per pohon yang terdiri dari campuran ampas dan sisa pati yang tidak terekstraksi (Rumalatu 1981).

Tanaman yang memiliki nama Latin Metroxylon sp. ini merupakan salah satu sumber karbohidrat yang penting bagi kehidupan. Untuk mengolah tanaman sagu agar menghasilkan pati, diperlukan proses ekstraksi. Pada dasarnya proses ekstraksi pati adalah pemisahan pati dari empulur batang sagu dengan bantuan air. Dengan media air ini, pati sagu dapat dipisahkan dari seratnya. Akibatnya, air mengandung pati setelah proses ekstraksi. Proses penghancuran empulur ini dapat dilakukan dengan dua cara, yakni penghancuran empulur dengan menokok (menggunakan nani) dan dengan cara mekanik (penghancuran empulur dengan menggunakan mesin).

Industri pengolahan sagu ini mampu menyerap tenaga kerja dan menghasilkan pendapatan asli daerah. Apalagi, di Indonesia, potensi pati kering dari tanaman sagu di areal seluas 1,4 juta hektare mencapai enam juta ton per tahun.

Produk pati dari sagu ini juga berpotensi menjadi ekspor unggulan. Apalagi komoditas ini banyak dibutuhkan industri di negara-negara seperti Amerika Serikat, Jepang, dan China untuk bahan baku mi, tepung, bahkan obat-obatan. Secara keseluruhan, kebutuhan pati dunia mencapai 50 juta ton per tahun. Angka itu terus meningkat sebesar 7 persen setiap tahun.

Pada industri pengolahan sagu berkapasitas besar, air sungai akan terakumulasi dengan sisa pati sagu hasil pengolahan sagu tersebut. Jika berlangsung terus-menerus, hal ini akan mengakibatkan akumulasi limbah sagu yang membuat air sungai tercemar.

Kenyataan ini dilematis. Di satu sisi, proses pengolahan sagu menghasilkan limbah, baik padat, cair, maupun gas. Biasanya, limbah ini dibuang ke sungai di sekitarnya, terutama limbah cair yang dapat mengganggu kondisi air sungai. Tingkat pencemaran air sungai sebagai tempat penerima limbah bergantung pada kuantitas dan kualitas dari buangan. Pencemaran air ini dapat menyebabkan penurunan kualitas air yang bisa membahayakan kesehatan. Selain itu, limbah cair yang mengandung bahan organik memberikan bau dan rasa tidak sedap pada perairan penampung.

Ampas sagu merupakan limbah yang didapatkan pada proses pengolahan tepung sagu, dimana dalam proses tersebut diperoleh tepung dan ampas sagu dalam perbandingan 1 : 6 (Rumalatu 1981). Jumlah limbah yang banyak tersebut, sampai saat ini belum dimanfaatkan sebagaimana mestinya hanya dibiarkan menumpuk pada tempat - tempat pengolahan tepung sagu sehingga menyebabkan pencemaran lingkungan. Nah, untuk meminimalisasi pencemaran tersebut, kita bisa memanfaatkan limbah sagu. Misalnya sebagai berikut.

Limbah Sagu untuk Kompos

Limbah sagu, terutama bagian sisa perasan ampasnya, ternyata juga bisa diolah menjadi kompos yang mampu meningkatkan produksi lada perdu hingga 100-200 persen. Proses pengomposannya melalui proses anaerob (sedikit oksigen). Proses ini terbilang sangat sederhana, murah, dan mudah.

Cara Pembuatannya:

1. Campurkan ampas sagu dengan kompos matang. Fungsi kompos matang sebagai starter (aktivator) saja.

2. Masukkan campuran itu ke dalam lubang (diperam dalam tanah) selama minimal dua bulan.

3. Bila keberatan dalam penggunaan kompos matang, kita bisa mensubstitusi dengan pupuk kandang, karena hasilnya pun tak jauh beda.

4. Dalam penelitian disertasi Muhammad Syakir dari IPB, diperoleh kesimpulan:

- Kompos sagu, komposisi limbah sagu 50-75 persen dengan dekomposisi dua bulan memberikan hasil terbaik terhadap pertumbuhan tanaman lada perdu muda (umur satu tahun).

- Limbah 50-100 persen yang didekomposisi dua bulan mampu meningkatkan pertumbuhan dan hasil tanaman lada perdu umur tiga dan empat tahun.

- Kandungan tertinggi unsur hara N, P, Ca diperoleh pada perlakuan 75 persen limbah sagu 25 persen kompos.

Selain menyuplai unsur hara bagi tanaman lada perdu, limbah sagu terkomposkan bersifat herbisida. Penguraian bahan organik anaerob apalagi ampas sagu yang memiliki kandungan selulosa tinggi menghasilkan senyawa-senyawa asam-asam organik seperti fenol. Senyawa fenol atau asam fenolat inilah yang berperan sebagai herbisida gulma. Asam fenolat mempunyai pengaruh langsung terhadap proses biokimia dan fisiologi tanaman. Berbagai penelitian menunjukkan asam-asam fenolat bersifat racun (fitotoksik) bagi tanaman.

Limbah Sagu sebagai Bioetanol

Bioenergi adalah bahan bakar alternatif yang diturunkan dari biomassa, yaitu material yang berasal dari makhluk hidup (tanaman, hewan dan mikroorganisme). Pengembangan bioenergi ini sangat cocok diaplikasikan di Indonesia karena didukung oleh potensi sumber daya alam hayati yang melimpah dan ketersediaan lahan. Salah satu jenis bioenergi yang dapat dikembangkan adalah bioetanol yang dapat digunakan sebagai pengganti bensin.

Energi biomassa berasal dari bahan organik dan sangat beragam jenisnya. Sumber energi biomassa dapat berasal dari tanaman perkebunan atau pertanian, hutan, atau bahkan limbah, baik limbah domestik maupun limbah pertanian. Biomassa dapat digunakan untuk sumber energi langsung maupun dikonversi menjadi bahan bakar. Teknologi pemanfaatan energi biomassa yang telah dikembangkan terdiri dari pembakaran langsung dan konversi biomassa menjadi bahan bakar. Penggunaan biomassa langsung sebagai bahan bakar kurang efisien sehingga konversi biomassa dianggap lebih baik dalam pemanfaatannya. Hasil konversi biomassa ini dapat berupa biogas, bioetanol, biodiesel, arang dan sebagainya. Bioetanol dan biodiesel dalam jangka panjang dapat dijadikan sebagai pengganti bahan bakar minyak.

Secara lebih spesifik bioetanol adalah cairan yang dihasilkan melalui proses fermentasi gula dari penguraian sumber karbohidrat dengan bantuan mikroorganisme. Bioetanol dapat juga diartikan sebagai bahan kimia yang memiliki ada sifat kesamaan dengan minyak premium, karena terdapatnya unsur–unsur seperti karbon (C) dan hidrogen (H). Bahan baku pembuatan bioetanol dibagi menjadi tiga kelompok yaitu bahan bersukrosa (nira, tebu, nira nipah, nira sargum manis, nira kelapa, nira aren, dan sari buah mete); bahan berpati (bahan yang mengandung pati) seperti tepung ubi, tepung ubi ganyong, sorgum biji, jagung, cantel, sagu, ubi kayu, ubi jalar, dan lain-lain; dan bahan berserat selulosa/lignoselulosa (tanaman yang mengandung selulosa dan lignin seperti kayu, jerami, batang pisang, dan lain-lain.

Bioetanol dianggap lebih ramah lingkungan karena CO2 yang dihasilkan oleh hasil buangan mesin akan diserap oleh tanaman, selanjutnya tanaman tersebut digunakan sebagai bahan baku pembuatan bahan bakar mesin, dan seterusnya sehingga tidak terjadi akumulasi karbon di atmosfer seperti yang ditimbulkan oleh penggunaan minyak bumi sebagai bahan bakar. Keunggulan lainnya adalah bioetanol mempunyai angka oktan tinggi 135. Angka oktan premium yang dijual sebagai bahan bakar hanya 98, makin tinggi bilangan oktan, bahan bakar makin tahan untuk tidak terbakar sendiri sehingga menghasilkan kesetabilan proses pembakaran untuk memperoleh daya yang lebih stabil. Proses pembakaran dengan daya yang lebih sempurna akan mengurangi emisi gas karbon monoksida. Campuran bioetanol 3% saja, mampu menurunkan emisi karbon monoksida menjadi hanya 1,35% (Aisyah dan Sembiring, 2010). Penambahan bahan bakar ethanol dalam bensin pada sepeda motor 4 tak dapat menimbulkan penurunan emisi gas formaldehid sebesar 42.1 % untuk BE5 dan 79.7 % untuk BE10. Sedangkan kecepatan mesin dapat meningkatkan emisi formaldehid, terutama pada bahan bakar BE0 yakni 0.02125 mg/m3 pada 2800 rpm. Penambahan bioethanol kedalam bahan bakar memberikan pengaruh penurunan temperatur gas buang (Christina dan Irsyad, 2010).

Salah satu penghasil bioetanol adalah pohon sagu. Pati sagu disebut juga poliglukosa, karena unit monomernya glukosa. Kemurnian sagu pada pati sangat tinggi karena rendahnya kandungan lemak, protein dan senyawa lain, sehingga pati sagu sangat cocok digunakan sebagai bahan baku pembuatan turunan pati seperti dekstrin, dekstrose, gula, dan produk turunan lainnya. Pati sagu yang diekstrak dari empulur batang pohonnya mengandung pati (27-31%), serat (20-24%) dan air (45-53%). Ekstraksi dilakukan dengan metode aliran air, sehingga air ikut berpengaruh terhadap kualitas mutu sagu. Bioetanol dari sagu berasal dari dua bagian yaitu pati sagu dan serat sagu. Sedangkan prosesnya berlangsung dalam empat tahapan yaitu: a. hidrolisa bahan menjadi oligosakarida; b. hidrolisa oligosakarida menjadi gula (monosakarida); c. konversi gula menjadi bioetanol, d. pemurnian bioetanol.

Pembuatan etanol dari pati dapat dilakukan secara kimia ataupun biologis. Akan tetapi jika berbicara “bioetanol” tentunya proses yang dipakai adalah secara biologis dengan menggunakan enzim alfa dan glucoamilase yang mampu mengurai pati menjadi gula (sakarifikasi) dan selanjutnya fermentasi gula menjadi bioetanol. Bioetanol dapat pula diperoleh dari serat berselulosa dengan menggunakan enzim selulase. Efektivitas proses ini dipengaruhi oleh jenis enzim, kekentalan bahan (ratio pati dan air), presentase enzim dan kondisi proses fermentasi. Proses fermentasi berlangsung beberapa jam setelah semua bahan dimasukkan ke dalam fermentor. Proses ini berjalan ditandai dengan keluarnya gelembung-gelembung udara kecil- kecil Gelembung-gelembung udara ini adalah gas CO2 yang dihasilkan selama proses fermentasi. Selama proses fermentasi diusahakan agar suhu tidak melebihi 36oC dan pH nya dipertahankan 4.5 – 5. Proses fermentasi berjalan kurang lebih selama 2 sampai 3 hari. Salah satu tanda bahwa fermentasi sudah selesai adalah tidak terlihat lagi adanya gelembung-gelembung udara.

Setelah proses fermentasi selesai, cairan fermentasi dimasukkan ke dalam evaporator atau boiler. Panaskan dengan suhu dipertahankan sekitar 79 – 81oC. Pada suhu ini bioetanol sudah menguap, tetapi air tidak menguap. Uap etanol dialirkan ke distilator. Bioetanol akan keluar dari pipa pengeluaran distilator. Pada distilasi tahap pertama, biasanya kadar bioetanol masih di bawah 95%. Apabila kadar bioetanol masih di bawah 95%, distilasi perlu diulangi lagi (reflux) hingga kadar bioetanolnya 95%. Jika kadar bioetanolnya sudah 95% dilakukan dehidrasi atau penghilangan air. Untuk menghilangkan air bisa menggunakan kapur tohor atau zeolit sintetis. Tambahkan kapur tohor pada etanol, biarkan semalam. Setelah itu didistilasi lagi hingga kadar airnya berkurang, dan kadar bioetanol yang diperoleh dapat mencapai 98-99%. Sagu berpotensi menjadi bioetanol bahan bakar nabati (BBN) karena kandungan karbohidratnya cukup tinggi, sekitar 85% dan kandungan kalori 357 kalori. Jadi diperkirakan kalau menggunakan tepung sagu tersebut dari 6,5 kg tepung akan dihasilkan 3,5 liter bioetanol (Tarigan, 2001 dalam Komarayanti 2010).

Tahapan awal proses produksi bioetanol yaitu praperlakuan. Praperlakuan bertujuan menghilangkan hemiselulosa dan lignin, sehingga memudahkan proses hidrolisis selulosa. Hal ini disebabkan selulosa terlindung dalam matriks hemiselulosa dan lignin. Selanjutnya tahap hidrolisis enzimatik menggunakan enzim selulase yang dapat menguraikan selulosa menjadi monomer gula. Monomer gula yang terbentuk difermentasi menggunakan ragi untuk mengubah gula menjadi etanol. Kemudian etanol dimurnikan dengan cara distilasi dan penguapan untuk menghilangkan pengaruh pelarut. Setelah itu, dilakukan pencucian dan penanganan limbah agar tidak mencemari lingkungan.

Jadi, budi daya tanaman sagu harus terus ditingkatkan karena pencemaran lingkungan yang diakibatkannya dapat diminimalisasi dengan temuan tersebut. Apalagi tanaman sagu juga bisa sebagai alternatif pengganti beras. Bahkan, sagu cocok digunakan untuk bahan bakar bioetanol. Apalagi proses pemanenannya sangat cepat, sehingga tidak sampai mengganggu ketahanan pangan nasional.

DAFTAR PUSTAKA
Cahyani, Rizki Dwi dkk., 2009. Pemanfaatan Limbah Sagu sebagai Bahan Baku Produksi  Bioetanol.
Christina, C. N. N.,  dan M. Irsyad, 2010. Pengaruh Penambahan Bioethanol dalam Bensin terhadap Emisi Gas Formaldehid. Program Studi Teknik Lingkungan FTSL ITB. Bandung
http//google.com/ Ampas Sagu yang Terbuang Masih Bermanfaat - Poultry Indonesia.htm
Komarayati, Sri dan Gusmailina, 2010. Prospek Bioetanol Sebagai Pengganti Minyak Tanah. Pusat Penelitian dan Pengembangan Hasil Hutan. Bogor.
Limbongan, Jermia. Morfologi Beberapa Jenis Sagu di Papua. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Papua
Singhal R. S., et al. 2008. Industrial production, processing, and utilization of sago palm-derived products.
Sumber: Jurnal Industri Hasil Perkebunan Vol. No. Juni 2010, Balai Penelitian Bioteknologi Perkebunan Indonesia, Lembar Informasi Pertanian LPTP Koya Barat, Papua No. 07/200, dan merdeka.com –
Widaryanto, Eko, 2011. Peluang dan Tantangan Kemandirian Energi   Berbasis Tanaman Jarak Pagar  (Jatropha Curcas L) yang Ramah Lingkungan. Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar. Ilmu Ekologi Tanaman. Fakultas Pertanian Universitas Brawijaya.

Sumber:
http://miraaryuni15.blogspot.co.id/2013/12/pemanfaatan-limbah-sagu.html

loading...

FOLLOW and JOIN to Get Update!

1001 Cara dan Tips Updated at: 21:20
loading...